Ada apa dengan masyarakat ini, setiap anak perempuan usia 20-an seakan-akan dituntut untuk mempunyai hubungan serius dengan seorang pria, untuk kemudian menikah. Mereka yang hingga usia di atas 25 yaun blm kunjung jelas sama siapa dicap ga laku, atau terlalu milih?
Sia-sia banget Ibu Kartini berjuang untuk memajukan perempuan kalo ternyata semua berpikir seperti ini. Kalo gue liat ya, hari gini perempuan punya pemikiran yang jauh lebih berkembang. Bahwa hidup ga tertutup dengan pola rumus:
Sekolah + menikah + berkeluarga = kebahagiaan sejati
Bahkan Djenar Maesa Ayu berani mengeluarkan statement 10 alasan untuk tidak menikah. Rumus itu sudah gabisa lagi dipakai hari gini. Tau nggak kenapa? Things changed…people changed!! Coba liat tv, baca berita, majalah, dengerin cerita. Dipikirnya nyari orang yang bisa selalu bareng ngejalanin hidup, mati-matian selalu berjuang bareng tu gampang apah??? Berapa banyak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini? Banyak. Berapa banyak perceraian (alesan apapun itu) yang terjadi? Banyak. Sayangnya atas pilihan yang dipilih perempuan Timur sekarang ini untuk keluar dari pakem yang selama ini dipahami, seringkali dianggap sebagai kegagalan si perempuan dalam mengeluarkan potensi dirinya.
Menurut gue, perempuan punya sejuta alasan untuk mengambil keputusan keluar dari pakem. Namun diantara buanyak alesan itu, dua hal cukup dominant. Pertama, dengan kesetaraan kesempatan kerja (nah, yang ini Ibu Kartini sukses bett), perempuan banyak yang memilih untuk bekerja dan guess what?? They are good in their job. They are being considered as important person in their office. And their boss believes that the Company will be in a big loss if they’re not joining aboard. Melalui kesetaraan ini, alasan menikah sebagai upaya kemapanan financial langsung dicoret. Hey, kita perempuan bisa mapan sendiri kok, ga perlu musti nempel ama suami buat bisa mapan. Jadi keberadaan seorang pria pendamping adalah sebagai partner, rekan satu tim untuk kerja sama. Perempuan ga lagi meminta pria untuk menopang seluruh hidupnya, semua bisa dikerjakan bersama. Hanya buat “nyender” aja dikala lelah (berlaku vice versa loh..); dan penyemangat dikala hidup berasa lagi “down” (u know la..perempuan bisa ekstra emosional banget)..
Gue rasa ini masuk akal banget. Sebagai contoh, gue dan temen-temen gue yang sama-sama perempuan, sama-sama bekerja. Keinginan untuk punya “secure relationship” emang ada, itu ga dipungkiri. Tapi disamping itu, kita juga punya banyak hal yang pengen dicapai sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Salah satu contohnya jalan-jalan liburan heboh. Pengen bisa jalan-jalan sama temen-temen pakai hasil jerih payah sendiri, ngelakuin segala hal yang kita pengen sepuasnya. Kebayang ga kalo udah berkeluarga, dengan keadaan financial yang sama, gue rasa keinginan itu akan lebih susah untuk terwujud. Skala prioritas bukanlah diri sendiri, tapi keluarga. That’s why perempuan sekarang memilih untuk mencapai “self achievement” dulu sebelum memutuskan untuk melangkah lebih jauh dengan pasangan.
Temen gue pernah ada yang bilang seperti ini tepat di hari ulang taun gue tentang gimana gue berusaha memberi “reward” kepada diri gue sendiri di hari special itu :
“well…I guess that’s what 26 years old single working girl with lots of money (term ini hiperbola, yang dimaksud sesungguhnya adalah perempuan yang bekerja/berkarir) would do on her birthday”
(puti anugra)
Kedua, sekarang ini lebih banyak figure yang kalo kata Sidney Portier “growing up boys” instead of “men”. That’s why sebagai perempuan harus lebih waspada. Nah ini dia yang malah dibilang terlalu milih lah, standar ketinggian, gamau ambil resiko patah hati, blab la bla…Hahaha…..konyol banget. Abis ya, sering gue liat karakter pria yang egois dan keras itu dijadikan tameng untuk melegalkan perbuatan jelek mereka. Nanti kalo si perempuan ngajak ngomong, mengeluh, mencari solusi,..mereka bukannya bisa nerima dengan hati besar, malah merasa si perempuan ge menerima dia apa adanya. Yeah rite…kalo ga nerima mah ga dipacarin kali. Yang mau gue bilang adalah, gue sadar setiap gender punya karakter, ditambah karakter yang dibentuk lingkungan. Untuk karakter yang kurang baik, gue gamau itu dijadiin pembenaran atas perilaku negative. Bukan berarti pengen di’ilangin, karena karakter itu udah ada sejak lama, tapi karakter itu bisa ditekan, dikompromikan, supaya ga menjadi dominant.
Yah kalo udah begini gimana sebagai perempuan gamau ekstra berhati-hati. Gila aja, keputusan yang mudah-mudahan diambil sekali seumur hidup kok dijadi’in eksperimen?? Sebenernya dugaan-dugaan orang itu bner juga. Masa’ iya ga milih? Pasti milih mana yang paling tepat untuk dapat berjuang mati-matian bersama untuk selamanya sehidup semati, jatuh bangun, terbang mendarat membangun kehidupan. Komitmen bersama kalo ga dijaga mah sama aja hancur perlahan. Perempuan itu pada dasarnya setia, tapi kalo udah dikecewain mah wassalam.
Figur perempuan kuat bertebaran di keluarga gue. Banyak banget sisi kehidupan perempuan-perempuan kuat ini yang menarik buat digali. Mereka semua punya banyak pilihan dalam kehidupannya dan berani mengambil keputusan yang ga “umum”. Mungkin inilah produk metropolis. As I call it somewhere in between.. Dituntut untuk maju, cepat beradaptasi dalam lingkungan yang tempo kehidupannya cepat, namun di sisi lain paradigma pernikahan tetap menghantui.
Kalo gue milih untuk single, knapa yang lain pada repot?
Kalo gue milih untuk membahagiakan diri gue, knapa yang lain pada repot?
Gue perempuan…gue punya pilihan…
Let me make my choices…as well as I am letting you to do so…
No comments:
Post a Comment