Ini kisah saya. Kisah saya dalam sebuah pencarian jati diri.
Setelah dua thun lalu saya berada di puncak kekesalan saya terhadap seorang anak manusia, say memutuskan untuk pergi jauh dan menjalin perdamaian dengan diri saya. I was the good girl gone bad. Very bad that at some point, saya merasa malu dengan diri saya sendiri dan segala kebodohan yang pernah saya lakukan. Yes I've gone to parties. Yes I drink alot, and let myself carried away. Yes I did it because I want it. Then I realized that it was not the right thing.
Seorang teman lalu berbicara pada saya, and it starts over a coffee.. "Ay, kalo kamu mau mengenal diri kamu, kamu harus mengenal siapa pencipta kamu". Lanjut lagi "Seperti gini deh, kalo kamu mau tau gimana cara bikin cappuccino atau bahan-bahan untuk membuat secangkir cappuccino, paling bener kamu tanya ke barista-nya, bukan tanya orang laen". Pada saat itu saya setengah mati berusaha memahami apa maksudnya bilang begitu.
Teman saya ini ternyata nggak pernah meninggalkan saya. Dia senantiasa memberikan ketentraman batin melalui kata-kata bijaknya yang sebagian besar berbau religius. Pada awalnya saya melakukan penolakan, namun seperti kata pepatah, batu sekeras apapun kalau ditetesi air pasti akan tergerus juga. Seperti itulah saya. Walau pemahaman saya sudah banyak yang menguap, saya berusaha kembali bersujud di hadapan-Nya setelah sekian lamanya saya merasa sangat nista dan tidak layak untuk bersujud pada-Nya.
Dua tahun berlalu sejak perbincangan itu. Baru sekarang saya memahami maksudnya. Tuhan itu tidak jauh. Saya mulai mencari esensi Tuhan yang sesungguhnya. Surprisingly, saya yang 12 tahun di sekolah Islam itu, hanya dijejali oleh doktrin-doktrin religi. Namanya doktrin, tentu jauh dari pemahaman atas esensi. Itulah relung kosong yang selama ini memnta untuk diisi. Baru sekarang-sekarang ini saat saya yang kebetulan blm bekerja, memiliki waktu luang untuk mencari sesuatu yang dapat mengisi relung kosong itu. Melalui pencarian inilah sedikit demi sedikit saya mulai menemukan-Nya. Menemukan si 'Barista'.
Sejak saat saya mengembalikan diri untuk mencari-Nya. Saya mencari tahu tempat dimana bisa mendapatkan pelajaran-pelajaran agama yang lebih mendalam. Awalnya langkah menuju tempat belajar terasa berat. Lucunya, berat itu hanya di awal doang. Kalau sudah di jalan, semuanya menjadi mudah dan menyenangkan. Lambat laun, saya mulai merasakan ketentraman jiwa. Ketenangan batin yang belum pernah saya rasakan. Satu demi satu urusan menjadi mudah. Kalau sudah berusaha tapi belum berhasil, saya menjadi positive feeling. Saya berpikir bahwa Dia yang Maha Mengatur memiliki rencana lain. Dan semuanya menjadi mudah untuk dihadapi.
Menengok ke belakang, banyak teman-teman yang tidak seberapa dekat berkomentar "si Ayay lagi rajin ngaji" atau "si Ayay berubah banget deh". Berkali-kali saya bilang "people changed, things changed". Lagipula, sesuai keyakinan saya, di hari akhir nanti, toh yang akan bertanggung jawab atas diri saya ya saya sendiri. Orang lain tidak akan diminta pertanggung jawaban atas perbuatan saya.
Dulu, saya rajin solat karna doktrin. Kemudian ada suatu fase dimana saya tidak pernah solat kecuali bulan Ramadhan. Kemudian ada lagi saat dimana saya ingin kembali solat tapi malu terhadap Tuhan karena telah menduakan-Nya. Tentunya saya merasa amat tidak pantas untuk kembali. Dan sekarang ini, saya melakukan ibadah bukan semata karna kewajiban. Tapi karena saya merasa saya lah yang membutuhkannya. Saya lah yang butuh Tuhan, dan ibadah ini yang akan membantu saya kelak untuk menjumpai-Nya. Bila lama absen solat malam, saya merindukan momen 'quality time' bersama Sang Pencipta, karena biasanya disitulah saat dimana saya bercerita kepada Tuhan seperti seorang sahabat bercerita. Setiap puasa pun menjadi mudah, karena saya berpikir bahwa Rasul pun melakukan hal yang jauh lebih berat dan dia berhasil. Apalah artinya puasa saya yang bisa tidur di rumah, pakai AC, baca buku, dll dibandingkan dengan dia yang cobaannya jauh lebih berat. Apalah arti penderitaan saya dibandingkan Sayyidah Fatimah yang 3 hari berturut2 puasa tapi penganan berbukanya diberikan pada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang? Tentu nggak ada artinya. Mengingat itu semua, ibadah saya terbilang jauh lebih mudah dan nikmat.
Mengikuti beberapa pengajian pun saya senang mendapatkan teman-teman baru. Mereka baik dan sangat suportif. Mereka meminjami saya buku-buku, menemani saya ke kelas-kelas religi, dan menjelaskan hal-hal yang saya masih memiliki keraguan atau ketidak jelasan. Sungguh menyenangkan berada diantara mereka yang baik akhlak dan pengetahuan agamanya.
Perubahan saya ini bukan berarti saya menjauh dari teman-teman saya yang dulu. Saya masih anak yang sama, yang masih mau ngopi-ngopi, masih mau kumpul-kumpul, masih semangat main bulutangkis bareng. Cuman kalau nongkrongnya di kafe, saya memiliki garis batasan sendiri. Misalnya, dengan minum yang bukan alkohol. Namun selebihnya, saya masih anak yang sama seperti dulu yang hadir untuk teman-teman saya.
Sya berubah setelah mengalami jihad melawan diri sendiri. Inilah yang berat dan sulit. Tentu akan ada komentar positif dan negatif dari lingkungan saya mengenai perubahan ini. Tapi saya yakin waktu akan menjawab segala pertanyaan mereka atas perubahan diri saya. Saya telah atau sedang mengalami reformasi rohani yang insyaAllah menuju ke arah yang lebih baik.
I'm sharing this because I've been there, I've done that..
Regardless your faith, do find your God.. and you'll be amazed on the changes you'll be having..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment